JAWA - Identitas Suku Bangsa Jawa
Pada awal tahun 90-an terdapat sekitar 70
juta orang Jawa yang sebagian besar di antaranya tinggal di Jawa Timur dan Jawa
Tengah dan sisanya tinggal di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan pulau-pulau
lain. Secara keseluruhan, kira-kira 100 juta orang tinggal di pulau Jawa.
Meskipun sebagian besar orang Jawa mempunyai rasa kebanggaan atas pencapaian
prestasi mereka, di antaranya dengan adanya keraton Surakarta dan Yogyakarta
atau sastra tradisional yang termasyur, kebanyakan orang Jawa cenderung tidak
mengidentifikasikan diri mereka sebagai bagian dari tradisi elit tersebut, pada
silsilah garis keturunan atau klan manapun, melainkan pada desa mereka
masing-masing.
Desa atau kampung ini, biasanya terletak di
pinggiran sawah, mengelilingi sebuah mesjid, atau terbentang di sepanjang
jalan. Kebanyakan daerah pedesaan Jawa di awal tahun 90-an dibagi ke dalam
kesatuan-kesatuan yang lebih kecil dan dikenal dengan sebutan rukun kampung
atau rukun tetangga. Rukun adalah kata penting dalam bahasa Jawa menggambarkan
"keberadaan maupun cara tindakan atau keadaan di mana semua pihak hidup
berdampingan dengan damai satu sama lain," . Menurut seorang Antropolog
Robert Jay adalah "proses berbagi melalui tindakan kolektif". Pada
tahun 1989, Patrick Guinness, seorang Anthropolog menuliskan bahwa lingkungan
tetangga adalah "kelompok sosial yang cukup besar di mana anggotanya
mengambil bagian dalam ritual keluarga, atau bergabung untuk acara-acara lain,
sementara kaum muda bersatu dalam tim-tim olahraga dan organisasi-organisasi,
mendirikan arisan sekaligus memegang properti tertentu seperti perlengkapan
pemakaman. Di daerah pedesaan, kelompok-kelompok ini juga kadang-kadang
bekerjasama dalam memanen padi mereka. Secara teori Rukun Tetangga berakar dari
perkumpulan keluarga-keluarga ideal. Di beberapa komunitas, masyarakat ini juga
mengorganisasi sistem keamanan atau biasa dikenal sebagai ronda malam (jaga
malam), suatu tindakan yang merefleksikan kepedulian terhadap komunitas di mana
mereka hidup. Tetangga mengamati dengan cermat jika ada aktivitas yang
mencurigakan dan mengambil bagian dengan bersemangat dalam penangkapan pencuri,
termasuk melakukan proses pengadilan langsung atas keputusan mereka sendiri.
Pemimpin organisasi ini biasanya dipilih atau ditentukan oleh pejabat pemerintah.
Sekitar awal tahun 90-an di pulau Jawa
tidak terdapat perbedaan kelas sosial yang sangat kentara antara daerah
pedesaan dan daerah perkotaan, antara lain karena kebanyakan warga desa masih
bisa memenuhi kebutuhan dasar dengan bercocok tanam. Di desa di mana tanah
lebih terbagi rata, suatu bentuk pertukaran pekerjaan biasa terjadi, karena
banyak buruh tani tidak memiliki tanah yang luas. Tetapi ada juga terbentuk
semacam hubungan majikan dan buruh, meskipun sang majikan sendiri jarang
memiliki tanah lebih dari dua hektar. Di pusat perkotaan dan daerah kesultanan,
terdapat perbedaan antara kaum elit tradisional yang halus dengan kaum borjuis.
Baik di desa maupun lingkungan perkotaan, pemimpin biasanya laki-laki. Walaupun
beberapa pemimpin adalah orang yang diangkat secara politik -- ditunjuk oleh
militer atau kelompok kuat lain -- pemimpin ini secara teoritis dipilih dari
hasil kemufakatan bersama. Sistem kemufakatan ini idealnya tercapai melalui
diskusi dari beberapa sudut pandang yang berbeda, sesudah itu anggota yang
dipandang sebagai senior akan membuat keputusan akhir.
Dalam sistem kekeluargaan masyarakat Jawa,
secara tradisional pertalian kekerabatan terbentuk melalui pihak ibu dan ayah
secara berimbang. Setelah menikah, keluarga inti yang terdiri dari ibu, bapak,
dan anak sedikit banyak menjadi lebih mandiri. Kewajiban formal terhadap sesama
kerabat tidak lebih besar daripada orang-orang barat, tetapi dengan tingkat
perceraian yang tinggi (lebih dari 50% di beberapa area) pada awal tahun 90-an
menyebabkan pemindahan tanggung jawab terhadap anak - khususnya di antara
kerabat dari pihak ibu - mungkin terjadi. Tidak ada marga, garis silsilah, atau
pengelompokan sosial yang berbasis kekerabatan, yang biasanya di pulau lain
menjadi dasar kerjasama untuk mendirikan bisnis keluarga. Anak lelaki cenderung
memperlakukan ayah mereka dengan formalitas dan rasa hormat. Walaupun ibu
adalah fokus keluarga dari beberapa segi, termasuk mengurus keuangan, dia
sering digambarkan sebagai pihak yang paling menderita jika keluarga mengalami
kehilangan. Ibulah yang biasanya mendidik anak, sedangkan bapak kebanyakan
disibukkan kegiatan di luar rumah.
Dari sudut pandang masyarakat Jawa, masa
kecil dianggap sebagai rentetan keterkejutan. Meskipun anak yang paling bungsu
selalu dituruti kemauannya, masa peralihan bisa sangat keras dan radikal.
Proses menyapih misalnya, bisa terjadi sangat cepat, di mana sang ibu
meninggalkan anaknya pada seorang kerabat keluarga kemudian kembali ke sana
beberapa hari kemudian. Tetapi secara keseluruhan, kenyamanan seorang bayi,
kekebalannya terhadap penyakit dan kemalangan dapat dilihat dari bagaimana anak
tersebut dilindungi dari kesedihan dan gangguan emosi. Bayi sering
terus-menerus dipegang, disusui sesuai permintaan, intinya bayi tidak boleh
dikecewakan. Sekali mereka disapih, mereka diserahkan ke dalam perawatan
saudara kandung yang lebih tua yang akan menuruti dan melindungi adik mereka.
Sewaktu anak menjadi lebih dewasa, dia
menjadi semakin tahan terhadap kejutan dan tekanan hidup, antara lain karena
dia sudah menjadi lebih sadar tentang peraturan yang menegaskan bagaimana
berinteraksi satu sama lain. Aturan tentang beretika membantu seorang anak
belajar menguasai diri. Misalnya, anak harus belajar menyapa bapak mereka
dengan hormat, memakai ketrampilan bahasa yang halus. Kegagalan untuk menuruti
aturan yang semestinya akan menuai peringatan keras. Menurut seorang Antropolog
Ward Keeler, pembelajaran tentang rasa malu bagi orang Jawa, adalah persoalan
tentang bagaimana seseorang menyadari akan kelemahan mereka dalam berinteraksi.
Anak belajar bahwa berurusan dengan orang lain secara langsung akan selalu
mengandung resiko ancaman terhadap diri sendiri.
Banyak aturan etika berpusat dari
penggunaan tingkat bahasa yang sesuai, di mana hal ini lebih problematik dalam
bahasa Jawa dibandingkan kebanyakan bahasa lain. Jika menyapa seseorang,
seorang penutur bahasa Jawa harus memilih tingkat kesopanan bahasa yang
berbeda-beda.Tingkatan bahasa ini terdiri dari kata yang mempunyai arti sama,
tetapi kata-katanya sangat berbeda. Sebagai contoh, di antara variasi kata
dalam bahasa Jawa untuk "sekarang," saiki adalah yang paling kasar,
sedangkan sakniki adalah lebih halus, dan sakmenika adalah yang paling halus. Bahasa
Jawa umumnya menganut aturan tiga tingkatan seperti itu yang menyebabkan banyak
orang tidak mampu berbicara lama karena harus berpikir dan memilih, menentukan
apakah mereka berada dalam suasana formal atau informal serta hubungan mereka
dengan lawan bicara.
Secara umum, seseorang mempergunakan bahasa
dari tingkatan paling tinggi untuk berbicara kepada orang yang berasal dari
status yang tinggi serta dalam situasi resmi dan menggunakan tingkat yang
paling rendah untuk berbicara dengan orang yang pangkatnya lebih rendah atau
dengan orang yang sudah akrab. Walaupun anak belajar berbicara dalam tingkatan
bahasa yang paling rendah terlebih dulu, mereka lambat laun disosialisasikan
untuk berbicara dalam bahasa yang lebih halus kepada kerabat yang lebih tua atau
orang asing yang mereka hormati. Formalitas ini biasanya terjadi di mana
perbedaan status terungkap dengan jelas. Kadang-kadang, anak yang sudah belajar
di perguruan tinggi atau yang tinggal di luar negeri segan menulis surat kepada
saudara mereka yang lebih tua atau sesepuh mereka dalam bahasa Jawa karena
mereka takut membuat kesalahan yang fatal. Sering mereka memakai bahasa
Indonesia karena mereka tidak lagi yakin akan situasi sosial di rumah. Walaupun
Bahasa Indonesia merupakan media komunikasi yang netral, toh bahasa ini masih
dianggap sebagai idiom asing bagi masyarakat Jawa.
Meskipun dalam beberapa situasi, perempuan
diharapkan untuk lebih banyak memakai bahasa tingkat tinggi atau tingkatan
paling halus dibandingkan kaum laki-laki, hal ini hanya berlaku dalam
lingkungan rumah tangga, terutama sebagai cara untuk menunjukkan kerendahan
hati di antara keluarga mereka. Laki-laki memilih tampil lebih sopan jika
berada di hadapan publik. Selain itu, di lingkungan publik, penggunaan tingkat
kesopanan bahasa Jawa tidak ada hubungannya dengan sikap kerendahan hati,
justru sebaliknya merupakan usaha untuk menunjukkan kelebihan diri mereka atas
orang lain. Laki-laki lebih banyak mempergunakan tingkat kesopanan bahasa ini
sebagai strategi untuk memenangkan status.
Pengamalan agama dalam masyarakat Jawa
sangat beraneka ragam. Walaupun kebanyakan orang Jawa adalah pemeluk Islam,
terdapat berbagai variasi dalam kepercayaan dan pelaksanaan agama ini yang
berhubungan erat dengan beberapa faktor kompleks seperti sejarah kedaerahan dan
strata sosial. Di propinsi Jawa Tengah, sebagai contoh, para kaum bangsawan
Jawa memasukkan unsur estetika yang kuat dan elemen mistik dalam prakteknya.
Nilai-nilai keagamaan diungkapkan lewat pertunjukan wayang kulit, gamelan,
tarian, dan bentuk seni lain yang bermuatan tradisi sopan-santun. Santri yang
kebanyakan di antara mereka adalah para saudagar-petani di Jawa Timur, lebih
mengedepankan aturan moral dalam agama Islam dan mengungkapkannya melalui
ajaran yang fundamental. Mereka mungkin akan melakukan ibadah haji ke Mekah,
mengajarkan anak mereka tentang Al Qur’an, dan bekerja untuk kepentingan
sosial, spiritual, bahkan kemajuan politik bagi ummat.
Kalangan masyarakat biasa di Jawa,
khususnya yang ada di Jawa Tengah, menolak universalisasi Islam beserta
konotasi politiknya. Mereka lebih memilih paduan ajaran Islam yang lebih
moderat dengan kepercayaan asli Jawa, biasanya diungkapkan dalam bentuk
perayaan dalam keluarga, ziarah ke candi dan tempat keramat, dan percaya pada
roh-roh halus. Bagi kalangan masyarakat kebanyakan di Jawa, dunia spiritual
dipenuhi oleh roh-roh jahat yang menghuni badan seseorang, benda, tempat atau
siapa saja yang pernah menyebabkan kemalangan. Orang yang mempercayai hal ini
mencoba melindungi diri mereka untuk melawan roh jahat tersebut dengan cara
memberikan persembahan, meminta bantuan kepada dukun, atau dengan perbuatan
rohani semacam penguasaan diri dan pemusatan pikiran.
Show
0 Comments
prev
next