kenali skizofrenia
Di bawah ini merupakan berbagai definisi
Skizofrenia:
1. Skizofrenia
adalah kekacauan jiwa yang serius ditandai dengan kehilangan kontak pada
kenyataan (psikosis), halusinasi, khayalan (kepercayaan yang salah), pikiran
yang abnormal dan menggangu kerja dan fungsi sosial (DSM-IV-TR, 2008)
2. Skizofrenia
adalah sekelompok reaksi psikotik yang mempengaruhi berbagai area fungsi
individu, termasuk berpikir dan berkomunikasi, menerima dan menginterpretasikan
realitas, merasakan dan menunjukkan emosi dan berperilaku dengan sikap yang
tidak dapat diterima secara sosial (Durand dan Barlow, 2007)
3. Skizofrenia
adalah penyakit otak yang timbul akibat ketidakseimbangan pada dopamine, yaitu
salah satu sel kimia dalam otak. Ia adalah gangguan jiwa psikotik paling lazim
dengan ciri hilangnya perasaan afektif atau respon emosional dan menarik diri
dari hubungan antarpribadi normal, sering kali diikuti dengan delusi (keyakinan
yang salah) dan halusinasi (persepsi tanpa ada rangsangan panca indera) (Arif,
2006).
Dari
beberapa definisi di atas, penulis menyimpulkan bahwa Skizofrenia adalah
gangguan jiwa serius yang bersifat psikosis sehingga penderita kehilangan
kontak dengan kenyataan dan mempengaruhi berbagai fungsi individu, seperti afeksi
dan kognitif.
JENIS-JENIS
SKIZOFRENIA
Terdapat berbagai
macam skizofrenia, yaitu sebagai berikut:
1. Skizofrenia simplex
Yaitu skizofrenia yang sering timbul pertama
kali pada masa pubertas (pada beberapa kasus). Gejala utamanya adalah
kedangkalan emosi dan kemunduran kemauan. Gangguan proses berpikir biasanya
ditemukan, waham dan halusinasinya jarang sekali ada.
2. Jenis hebrefenik
Yaitu jenis skizofrenia yang
permulannya perlahan-lahan dan sering timbul pada masa remaja atau antara 15-25
tahun. Gejala yang menyolok ialah gangguan proses berfikir, gangguan kemauan
dan adanya depersonalisasi.
3. Jenis katatonik
Yaitu jenis skizofrenia yang
timbulnya pertama kali antara umur 15-30 tahun, biasanya akut serta didahului
oleh stres emosional. Skizofrenia jenis ini melibatkan aspek psikomotorik. Skizofrenia
jenis katatonik terbagi menjadi 2, yaitu:
a. Stupor Katatonik,
merupakan gangguan di mana penderita
tidak menunjukkan perhatian sama sekali pada lingkungan. Gejala yang
muncul di antaranya adalah mutisme (kadang-kadang mata tertutup) dan muka tanpa
mimik
b. Gaduh Gelisah Katatonik,
merupakan skizofrenia jenis katatonik di mana terdapat hiperaktivitas, tetapi
tidak disertai dengan emosi dan rangsangan dari luar.
4. Jenis Paranoid
Jenis skizofrenia ini agak berbeda dari
jenis-jenis yang lain dalam jalannya jenis penyakit. Jenis ini mulai sesudah
umur 30 tahun, penderita mudah tersinggung, cemas, suka menyendiri, agak
congkak dan kurang percaya pada orang lain. Hal ini dilakukan penderita karena
adanya waham kebesaran dan atau waham kejar ataupun tema lainnya disertai juga
dengan halusinasi yang berkaitan.
5. Skizofrenia Residual
Yaitu jenis skizofrenia dengan gejala
mengalami gangguan proses berpikir, gangguan afek dan emosi, ganguan emosi
serta gangguan psikomotor. Namun, tidak ada gejala waham dan halusinasi.
Keadaan ini timbul sesudah beberapa kali serangan skizofrenia.
6. Jenis Skizo-Afektif
Yaitu jenis skizofrenia yang selain
gejala-gejalanya yang menonjol secara bersamaan juga gejala-gejala depresi atau
gejala-gejala mania menyertai. Jenis ini cenderung untuk menjadi sembuh tanpa
efek tetapi mungkin juga seringkali timbul lagi.
SEBAB-SEBAB
(BIOPSIKOSOSIALSPIRITUAL)
Ada beberapa teori yang mungkin bisa
menjelaskan penyebab skizofrenia. Adapun teori-teori tersebut seperti tersebut
di bawah ini:
1. Teori
Neurotransmitter
Di dalam otak manusia terdapat berbagai
macam neurotransmitter, yaitu substansi atau zat kimia yang bertugas menghantarkan
impuls-impuls saraf. Ada beberapa neurotransmitter yang diduga berpengaruh
terhadap timbulnya skizofrenia. Dua di antaranya yang paling jelas adalah
neurotransmitter dopamine dan serotonin. Berdasarkan penelitian, pada
pasien-pasien dengan skizofrenia ditemukan peningkatan kadar dopamine dan
serotonin di otak secara relatif.
Menurut Mesholam Gately et.al dalam
jurnal Neurocognition in First-Episode
Schizophrenia: A Meta Analytic Review (2009), gangguan neurokognisi adalah
fitur utama pada episode pertama penderita skizofrenia. Gangguan tersebut membuat
sistem kognisi tidak dapat bekerja seperti kondisi normal.
2. Teori
Genetik
Diduga faktor genetik juga berpengaruh
terhadap timbulnya skizofrenia. Walaupun demikian, terbukti dari penelitian
bahwa skizofrenia tidak diturunkan secara hukum Mendeell (jika orang tua
skizofrenia, belum tentu anaknya skizofrenia juga). Dari penelitian didapatkan
prevalensi sebagai berikut:
Ø Populasi
umum 1%
Ø Saudara
Kandung 8%-10%
Ø Anak
dengan salah satu orang tua skizofrenia 12%-15%
Ø Kembar
2 telur (dizigot) 12%-15%
Ø Anak
dengan kedua orang tua skizofrenia 35%-40%
Ø Kembar
monozigot 47%-50%
Sampai saat ini, belum ada hal yang
pasti mengenai penyebab skizopfrenia. Namun demikian peneliti-peneliti meyakini
bahwa interaksi antara genetika dan lingkungan yang menyebabkan skizofrenia.
Menurut Imransyah, bahwa hanya 10% dari genetika yang dapat menyebabkan
skizofrenia, sedangkan Hawari (Arif, 2006) mengakui bahwa skizofrenia dapat
dipicu dari faktor genetik. Namun jika lingkungan sosial mendukung seseorang
menjadi pribadi yang terbuka maka sebenarnya faktor genetika ini bisa
diabaikan. Namun jika kondisi lingkungan mendukung seseorang bersikap asosial
maka penyakit skizofrenia menemukan lahan suburnya.
Penelitian lain dari Clarke et al yang
berjudul Evidence for an Interaction
Between Familial Liability and Prenatal Exposure to Infection in the Causation
of Schizophrenia (2009), menyebutkan bahwa Komplikasi kelahiran dan
keluarga yang memiliki resiko psikotik terbukti menyebabkan skizofrenia dengan
persentase resiko 38% - 46%.
3. Predisposisi
Genetika
Meskipun genetika merupakan faktor
resiko yang signifikan, belum ada penanda genetika tunggal yang diidentifikasi.
Kemungkinan melibatkan berbagai gen. Penelitian telah berfokus pada kromosom 6,
13, 18, dan 22. Resiko terjangkit skizofrenia bila gangguan ini ada dalam
keluarga, yaitu satu orang tua yang terkena 12%-15%, kedua orang tua terkena
penyakit ini resiko 35%-40%, saudara sekandung terjangkit resiko 8%-10%, kembar
dizigotik yang terkena resiko 12%-15%, bila kembar monozigotik yang terkena
resiko 47%- 50%.
Para ilmuwan sudah lama mengetahui bahwa skizofrenia
diturunkan, 1% dari populasi umum tetapi 10% pada masyarakat yang mempunyai
hubungan derajat pertama seperti orang tua, kakak laki laki ataupun perempuan
dengan skizofrenia. Masyarakat yang mempunyai hubungan derajat ke dua seperti
paman, bibi, kakek / nenek dan sepupu dikatakan lebih sering dibandingkan
populasi umum. Kembar identik 40% sampai 65% berpeluang menderita skizofrenia
sedangkan kembar dizigotik 12%. Anak dan kedua orang tua yang skizofrenia
berpeluang 40%, satu orang tua 12 % (Makalah pembahas).
Lenzenweger, Mark et al. dalam
jurnal Resolving The Latent Structure of
Schizophrenia Endophenotypes Using Expectation-Maximization-Based Finite
Mixture Modelling (2007)
melakukan penelitian mengenai struktur laten fenotip pada beberapa subjek yang
diindikasikan skizofrenia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa subjek tersebut
memiliki kecenderungan kepribadian skizotipal yang sangat berpotensi untuk
mengarah pada gangguan psikotik.
4. Abnormalitas
Perkembangan Syaraf
Penelitian menunjukkan bahwa malformasi
janin minor yang terjadi pada awal gestasi berperan dalam manifestasi akhir
dari skizofrenia. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan saraf dan
diidentifikasi sebagai resiko yang terus bertambah, meliputi individu yang
ibunya terserang influenza pada trimester kedua, individu yang mengalami trauma
atau cedera pada waktu dilahirkan, dan penganiayaan atau trauma di masa bayi
atau masa anak-anak.
5. Abnormalitas
Struktur dan aktivitas Otak
Pada beberapa subkelompok penderita
skizofrenia, teknik pencitraan otak (CT, MRI, dan PET) telah menujukkan adanya
abnormalitas pada struktur otak yang meliputi pembesaran ventrikel, penurunan
aliran darah ventrikel, terutama di korteks prefrontal penurunan aktivitas
metaolik di bagian-bagian otak tertentu atrofi serebri. Ahli neurologis juga
menemukan pemicu dari munculnya gejala skizofrenia. Pada para penderita
skizofrenia diketahui bahwa sel-sel dalam otak yang berfungsi sebagai penukar
informasi mengenai lingkungan dan bentuk impresi mental jauh lebih tidak aktif
dibanding orang normal.
Temuan ini bisa menjabarkan dan membantu
pengobatan munculnya halunisasi dan gangguan pemikiran pasien skizofrenia,
demikian menurut tim dari Harvard Medical
School. Pada saat yang sama para ilmuwan memonitor gelombang otak
partisipan dengan menggunakan alat electroencephalogram
(EEG) yang bisa memberi informasi aktivitas elektrik otak. Kedua kelompok
memberi respon terhadap gambar-gambar tersebut selama satu detik saja. Namun
mereka yang menderita skizofrenia membuat lebih banyak kesalahan dan
membutuhkan waktu lebih banya 200 milidetik dibanding yang sehat.
Ketika para ilmuwan mengamati pola
gelombang otak, mereka menemukan bahwa pasien skizofrenia memperlihatkan tidak
adanya aktivitas pasti dalam gelombang otakknya ketika menekan tombol-tombol
jawaban. Sementara partisipan yang sehat memiliki aktivitas gelombang gama yang
bisa menjadi identifikasi bahwa otak mereka memproses informasi visual sebagai
petunjuk responnya. “Ada perbedaan yang sangat dramatis. Para penderita
skizofrenia tidak memperlihatkan respons gama sama sekali”, komentar Dr. Robert
McCarley, pemimpin studi. Jika komunikasi yang paling efisien terjadi pada
gelombang 40 hertz, maka penderita skizofrenia menggunakan frekuensi yang jauh
lebih rendah. Ini sama saja artinya dengan mereka tidak mempunyai proses
komunikasi yang efektif pada sel penukar informasi dan bagian otaknya.
6. Ketidakseimbangan
Neurokimia (neurotransmitter)
Skizofrenia memiliki basis biologis,
seperti halnya penyakit kanker dan diabetes. Penyakit ini muncul karena
ketidakseimbangan yang terjadi pada dopamine, yakni salah satu sel kimia dalam
otak (neurotransmitter). Otak sendiri terbentuk dari sel saraf yang disebut
neuron dan kimia yang disebut neurotransmitter.
Penelitian terbaru bahkan menunjukkan
serotonin, norepinefrin, glutamate, dan GABA juga berperan dalam menimbulkan gejala-gejala
skizofrenia. Majorie Wallace, pimpinan eksekutif yayasan Skizofrenia SANE,
London, berkomentar bahwa, di dalam otak terdapat miliaran sambungan sel.
Setiap sambungan sel menjadi tempat untuk meneruskan maupun menerima pesan dari
sambungan sel lainnya. Sambungan sel tersebut melepaskan zat kimia yang disebut
neurotransmitter yang menbawa pesan dari ujung sambungan sel yang satu ke ujung
sambungan sel yang lain. Di dalam otak penderita skizofrenia, terdapat
kesalahan atau kerusakan pada sistem komunikasi tersebut. Biasanya mereka
mengalami halusinasi.
Halusinasi selalu terjadi saat
rangsangan terlalu kuat dan otak tidak mampu menginterpretasikan dan merespons
pesan atau rangsangan yang datang. Penderita skizofrenia mungkin mendengar
suara-suara atau melihat sesuatu yang sebenarnya tidak ada, atau mengalami
suatu sensasi yang tidak biasa pada tubuhnya. Auditory hallucinations, gejala yang biasanya timbul, yaitu
penderita merasakan ada suara dari dalam dirinya.
Kadang suara itu dirasakan menyejukkan
hati, memberi kedamaian, tapi kadang suara itu menyuruhnya melakukan sesuatu
yang sangat berbahaya, seperti bunuh diri. Gejala lain adalah menyesatkan
pikiran atau delusi, yakni kepercayaan yang kuat dalam menginterpretasikan
sesuatu yang kadang berlawanan dengan kenyataan. Misalnya, pada penderita
skizofrenia, lampu lalu lintas di jalan raya yang berwarna merah kuning hijau,
dianggap sebagai suatu isyarat dari luar angkasa.
7. Proses
Psikososial dan Lingkungan
Proses psikososial dan lingkungan juga
sangat berpengaruh untuk menyebabkan skizofrenia. Setiap orang pada umumnya
memiliki kecenderungan untuk skizofrenia 1%.
Pada individu yang memiliki hubungan dekat dengan seseorang yang
terjangkit skizofrenia, kecenderungannya sekitar 10%. Jika seseorang hidup dalam
lingkungan yang mendukung asosial, kemungkinan seseorang untuk mengidap
skizofrenia tinggi. Namun bila sedeorang hidup dalam lingkungan yang terbuka,
walaupun secara genetik dia memiliki kecenderungan skizofrenia, hal itu bisa
diminimalisisr bahkan dihilangkan.
PERSPEKTIF ALIRAN-ALIRAN
Berbagai cara
dilakukan untuk memahami dan mengatasi skizofrenia. Dalam perspektif
psikologis, khususnya perspektif psikodinamik dan perkembangan, diyakini bahwa
skizofrenia bukanlah gangguan yang terjadi secara langsung dan tiba-tiba
melainkan merupakan hasil suatu proses panjang. Proses berakar pada gangguan
relasi yang paling awal, yaitu antara bayi dan caregiver-nya (McGlashan; Arif, 2006).
Sementara itu teori keluarga menjelaskan bawah beberapa
pasien skizofrenia sebagaimana orang mengalami penyakit non-psikiatrik berasal
dari keluarga dengan disfungsi. Selain itu, hal yang juga relevan adalah
perilaku keluarga yang patologis, yang secara signifikan meningkatkan stress
emosional yang harus dihadapi oleh pasien skizofrenia (makalah pembahas).
Gangguan dini
dalam relasi ini kemudian mengakibatkan kerentanan dan berujung pada kerusakan
yang berat bagi individu yang bersangkutan. Interaksi bayi dengan pengasuh atau
bahkan ibunya (yang menjadi primary
object) harus menghasilkan ruang psikologis yang memadai untuk pertumbuhan
kepribadiannya. Demikian juga dengan anggota keluarga lainnya yang mungkin akan
menjadi external object relations
pertama bagi si bayi (bila bayi tumbuh di lingkungan keluarganya). Respon
positif terhadap keberadaan bayi tersebut akan meneguhkan dan membentuk
kepribadian yang sehat pada bayi tersebut. Kepribadian yang sehat ini kelak
ditandai dengan coping yang baik
terhadap masalah yang dihadapi.
Dari perspektif
behavioral dijelaskan bahwa patologi terjadi karena proses belajar yang salah.
Hal ini berkaitan dengan perspektif kognitif yang menjelaskan bahwa patologi
terjadi karena keyakinan dan proses kognitif yang salah, yang bisa jadi karena
proses belajar yang salah juga. Prinsip reward
dan punishment pada proses belajar
juga akan terkait dengan pengaktualisasian potensi yang dibatasi jika individu
terlalu banyak mendapat punishment
saat belajar, sehingga patologi muncul. Jika skizofrenia ditilik dari
perspektif humanistik, maka pasti ada pembatasan aktualisasi diri yang berlebihan
pada diri penderita gangguan psikotik ini (Alwisol, 2007).
Sementara jika
ditilik dari perspektif spiritual Islami, penderita gangguan psikotik adalah hasil
dari ketidakseimbangan kesehatan mental, kesehatan sosial, kesehatan spiritual,
kesehatan finansial, dan kesehatan fisik. Menurut perspektif spiritual Islami,
manusia akan sehat secara holistik jika mampu menyeimbangkan seluruh aspek
kesehatan yang dimiliknya (Adz Zakiey, 2007).
Dari penjabaran
di atas, jelas bahwa diperlukan multiperspektif untuk menjelaskan skizofrenia
secara tepat.
GEJALA
Ada
banyak gejala-gejala skizofrenia. Gejala-gejala ini dirumuskan oleh berbagai
sumber. Menurut Diagnostic and Statistical Manual Of Mental Disorder IV-TR,
gejala khas skizofrenia berupa adanya:
1. Waham atau Delusi (keyakinan
yang salah dan tidak bisa dikoreksi yang tidak sesuai dengan kenyataan, maupun
kepercayaan, agama, dan budaya pasien atau masyarakat umum)
2. Halusinasi (persepsi panca
indera tanpa adanya rangsangan dari luar)
3. Pembicaraan kacau
4. Perilaku kacau
5. Gejala negatif (misalnya
berkurangnya kemampuan mengekspresikan emosi, kehilangan minat, penarikan diri
dari pergaulan sosial)
Selain
itu untuk menegakkan diagnosa skizofrenia menurut DSM IV-TR (2008) adalah
munculnya disfungsi sosial, durasi gejala khas paling sedikit 6 bulan, tidak
termasuk gangguan perasaan (mood),
tidak termasuk gangguan karena zat atau karena kondisi medis, dan bila ada riwayat
Autistic Disorder atau gangguan
perkembangan pervasive lainnya, diagnosis skizofrenia dapat ditegakkan bila
ditemui halusinasi dan delusi yang menonjol selama paling tidak 1 bulan.
Menurut
Bleuler, ada 2 kelompok gejala-gejala skizofrenia, yaitu:
1. Gejala Primer, yang meliputi:
a. Gangguan proses pikiran (bentuk,
langkah dan isi pikiran). Pada skizofrenia inti, gangguan memang terdapat pada
proses pikiran.
b. Gangguan afek dan emosi.
Gangguan ini pada skizofren berupa:
1)
Parathimi,
yaitu apa yang seharusnya menimbulkan rasa senang dan gembira, pada penderita
malah menimbulkan rasa sedih atau marah.
2)
Paramimi,
yaitu penderita merasa senang tetapi menangis
c. Gangguan kemauan, yaitu gangguan
di mana banyak penderita skizofrenia memiliki kelemahan kemauan. Mereka tidak
dapat mengambil keputusan dan tidak dapat bertindak dalam sebuah situasi
menekan. Gangguan kemauan yang timbul antara lain:
1)
Negativisme,
yaitu sikap atau perbuatan yang negatif atau berlawanan terhadap suatu
permintaan.
2)
Ambivalensi,
yaitu sikap yang menghendaki seseuatu yang berlawanan pada waktu yang
bersamaan.
3)
Otomatisme,
yaitu penderita merasa kemauannya dipengaruhi oleh orang lain atau oleh tenaga
dari luar, sehingga dia melakukannya secara otomatis.
d. Gejala psikomotor, disebut juga
dengan gejala-gejala katatonik. Sebetulnya gejala katatonik sering mencerminkan
gangguan kemauan. Bila gangguan hanya ringan saja, maka dapat dilihat
gerakan-gerakan yang kurang luwes atau agak kaku.
2. Gejala Sekunder, yang meliputi:
a. Waham.
Pada
penderita skizofrenia waham sering tidak logis sama sekali dan sangat bizar.
Tetapi penderita tidak menginsafi hal ini dan untuk dia wahamnya merupakan
fakta dan tidak dapat diubah oleh siapapun.
b. Halusinasi.
Pada
penderita skizfrenia, halusinasi timbul tanpa penurunan kesadaran dan hal ini
merupakan suatu gejala yang hampir tidak dijumpai pada keadaan lain.
Menurut Bleuler, seseorang didioagnosa menderita skizofrenia apabila
terdapat gangguan-gangguan primer dan disharmoni pada unsur-unsur kepribadian
yang diperkuat dengan adanya gejala-gejala sekunder.
Menurut
Kut Schneider, terdapat 11 gejala skizofrenia yang terdiri dari 2 kelompok,
yaitu sebagai berikut:
1. Kelompok A, halusinasi
pendengaran, yaitu:
a. Pikirannya dapat didengar
sendiri
b. Suara-suara yang sedang
bertengkar
c. Suara-suara yang mengomentari
perilaku penderita
2. Kelompok B, gangguan batas ego,
yang meliputi:
a. Tubuh dan gerakan penderita
dipengaruhi oleh kekuatan dari luar
b. Pikirannya diambil keluar
c. Pikirannya dipengaruhi oleh
orang lain
d. Pikirannya diketahui oleh orang
lain
e. Perasaannya dibuat oleh orang
lain
f. Kemauannya dipengaruhi orang
lain
g. Dorongannya dikuasai orang lain
h. Persepsi yang dipengaruhi oleh
waham
Menurut
Kut Schneider, seseorang bisa didiagnosa penderita skizofrenia bila ada gejala
dari kelompok A dan Kelompok B, dengan syarat kesadaran penderita tidak
menurun.
Gejala
lain yang diungkap adalah:
1.
Gejala-Gejala
Positif, yaitu penambahan fungsi dari batas normal, meliputi:
a. Delusi.
Delusi
adalah keyakinan yang oleh kebanyakan orang dianggap misinterpretasi terhadap
realitas. Delusi memiliki bermacam-macam bentuk, yaitu delusion of grandeur (waham kebesaran) yaitu keyakinan irasional
mengenai nilai dirinya, delusion of persecution
yaitu yakin dirinya atau orang lain yang dekat dengannya diperlakukan
dengan buruk oleh orang lain dengan cara tertentu, delusion of erotomanic yaitu keyakinan irasional bahwa penderita
dicintai oleh seseorang yang lebih tinggi statusnya, delusion of jealous yaitu yakin pasangan seksualnya tidak setia,
dan delusion of somatic yaitu merasa
menderita cacat fisik atau kondisi medis tertentu.
b. Halusinasi
Gejala-gejala
psikotik dari gangguan perseptual dimana berbagai hal dilihat didengar, atau
diindera meskipun hal-hal itu tidak real (benar-benar ada).
2.
Gejala-Gejala
Negatif, yaitu pengurangan fungsi dari batas normal, meliputi:
a. Avolisi
Yaitu apati atau ketidakmampuan untuk
memulai atau mempertahankan kegiatan-kegiatan penting.
b. Alogia
Yaitu
pengurangan dalam jumlah atau isi pembicaraan.
c. Anhedonia
Yaitu
ketidakmampuan untuk mengalami kesenangan yang terkaitu dengan beberapa
gangguan suasana perasaan dan gangguan skizofrenik.
d. Afek Datar
Yaitu
tingkah laku yang tampak tanpa emosi.
3.
Gejala
Disorganisasi, yaitu ketidakharmonisan fungsi, meliputi:
a. Disorganisasi dalam pembicaraan (Disorganized Speech)
Gaya
bicara yang sering terlihat pada penderita skizofrenia termasuk inkoherensi dan
ketiadaan pola logika yang wajar.
b. Afek yang tidak pas (inappropriate Affect) dan perilaku yang
disorganisasi
Afek yang
tidak pas merupakan ekspresi emosi yang tidak sesuai dengan aslinya. Perilaku
yang disorganisasi adalah perilaku yang tidak lazim.
Untuk
mendiagnosa seseorang skizofrenia, seseorang harus menunjukkan 2 atau lebih
gejala positif, negatif, atau disorganisasi dengan porsi yang besar selama
paling sedikit 1 bulan.
Tanda
awal skizofrenia seringkali terlihat saat kanak-kanak. Tanda-tanda tersebut
perlu untuk diketahui untuk membedakan gejala skizofrenia pada anak dengan proses
belajar anak yang masih dalam bentuk bermain. Anak seringkali berimajinasi
tentang peran-peran baru dalam permainannya, namun hal tersebut bukanlah sebuah
gangguan. Indikator premorbid (pra-sakit) pada anak pre-skizofrenia antara
lain:
1.
Ketidakmampuan
anak mengekspresikan emosi (wajah dingin, jarang tersenyum, tak acuh)
2.
Penyimpangan
komunikasi (anak sulit melakukan pembicaraan terarah)
3.
Gangguan
atensi (anak tidak mampu memfokuskan, mempertahankan, serta memindahkan atensi)
Adapun
gejala awal yang terlihat pada tahap-tahap tertentu dalam perkembangan adalah
sebagai berikut:
1.
Pada
anak perempuan, tampak sangat pemalu, tertutup, menarik diri secara sosial,
tidak bisa menikmati rasa senang, dan ekspresi wajah sangat terbatas
2.
Pada
anak laki-laki, sering menantang tanpa alasan jelas, menggangu, dan tidak disiplin
3.
Pada
bayi, biasanya terdapat problem tidur makan, gangguan tidur kronis, tonus otot
lemah, apatis, dan ketakutan terhadap objek atau benda yang bergerak cepat
4.
Pada
balita, terdapat ketakutan yang berlebihan terhadap hal-hal baru seperti potong
rambut, takut gelap, takut terhadap label pakaian, takut terhadap benda-benda
bergerak
5.
Pada
anak usia 5-6 tahun, mengalami halusinasi suara seperti mendengar bunyi
letusan, bantingan pintu atau bisikan, juga halusinasi visual seperti melihat
adanya sesuatu yang bergerak meliuk-liuk, ular, bola-bola bergelindingan,
lintasan cahaya dengan latar belakang warna gelap. Anak terlihat bicara atau
tersenyum sendiri, menutup telinga, sering mengamuk tanpa sebab.
ONSET
Siapa
saja bisa terkena skizofrenia, tanpa memandang jenis kelamin, status sosial maupun
tingkat pendidikan. Usia terbanyak berdasarkan statistik adalah 15-30 tahun,
dimana gejala skizofrenia mulai muncul pada umur 20 tahun untuk pria, sedangkan
untuk wanita gejala-gejala skizofrenia mulai muncul pada umur 20 tahun atau
awal umur 30 tahun. Namun, pada saat ini juga mulai dikenal skizofrenia anak
(sekitar usia 8 tahun, bahkan ada kasus usia 6 tahun) dan late-onset skizofrenia (usia lebih dari 45 tahun). Berbagai hal
lain yang bisa meningkatkan seseorang untuk mengidap skizofrenia, yaitu
memiliki garis keturunan skizofrenia, terjangkit virus saat dalam kandungan,
kekurangan gizi saat dalam kandungan, stresor lingkungan yang tinggi, memakai
obat-obatan psikoaktif saat remaja, dan lain-lain.
Penulis
mendapatkan sumber kasus onset dini
skizofrenia dari DSM-IV-TR (2008). Sumber tersebut tidak menjelaskan secara
rinci bagaimana kasus dan waktu terjadinya. Sumber hanya menerangkan bahwa
memang ada kesulitan untuk mendiagnosis anak yang terkena skizofrenia, terutama
pada fitur visual halusinasi. Penulis mencoba memberikan contoh kasus ini dari
film Pans Labirynth,dimana ada
seorang anak yang sering “bermain” dengan dunia peri namun juga memiliki
keluarga di dunia nyata. Anak tersebut benar-benar tidak dapat membedakan mana
dunia nyata dan dunia delusi.
Sementara
itu menurut Kaplan, Sadock, & Grebb;
Davison & Neale ( Fausiah & Widur; makalah pembahas) onset untuk laki
laki 15 sampai 25 tahun sedangkan wanita 25-35 tahun. Prognosisnya adalah lebih
buruk pada laki laki dibandingkan wanita. Sedangkan onset skizofrenia sebelum
usia 10 tahun atau setelah usia 50 tahun sangat jarang terjadi. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa pria lebih mungkin memunculkan simton negatif
dibandingkan wanita, dan wanita tampaknya memiliki fungsi sosial yang lebih
baik daripada pria.
Pada
kesimpulannya individu pada umur berapapun rawan menderita skizofrenia bila faktor
biologis berinteraksi dengan faktor psikologis dan sosial.
PREVALENSI
Prevalensi
(kemungkinan terjadi) gangguan skizofrenia dapat dilihat pada daftar di bawah
ini:
1. Populasi
umum 1%
2. Saudara
Kandung 8%-10%
3. Anak
dengan salah satu orang tua skizofrenia 12%-15%
4. Kembar
2 telur (dizigot) 12%-15%
5. Anak
dengan kedua orang tua skizofrenia 35%-40%
6. Kembar
monozigot 47%-50%
TERAPI
1.
Terapi
Biologis/Medis
Sejak tahun
1990-an telah ditemukan obat bagi penderita skizofrenia. Obat yang disebut Neuroleptics ini mampu mengurangi gejala
kegilaan yang muncul pada penderita skizofrenia. Menurut Hawari, obat
skizofrenia versi lama hanya menyembuhkan gejala positif skizofrenia, seperti
gampang mengamuk dan gemar berteriak-teriak. Sayangnya, obat tersebut tidak
menyembuhkan gejala negatif. Penderita skizofrenia yang mengonsumsi obat versi
lama masih sering tampak bengong dan
gemar melamun. Sementara obat skizofrenia versi baru, menurut Hawari (Arif,
2006), berhasil menyembuhkan gejala-negatif sekaligus positif.
Obat bagi
penderita skizofrenia biasa disebut neuroleptics
(berarti mengendalikan syaraf). Jika efektif, obat ini mampu membantu orang
untuk berpikir lebih jernih dan mengurangi delusi atau halusinasi. Obat ini
bekerja dengan cara mempengaruhi gejala positif (delusi, halusinasi, agitasi).
Dalam kadar yang lebih rendah, obat ini dapat mempengaruhi gejala-gejala negatif
dan disorganisasi. Fungsi neuroleptics adalah
antagonis dopamin. Seperti diketahui bahwa jumlah dopamine yang berlebihan
menjadi pemicu munculnya skizofrenia.
Penelitian dalam
Journal of Psychiatry menyebutkan
bahwa penggunaan milnacipran mampu menghambat afek negative skizofrenia seperti
avolisi, alogia, dan asocial. Kasus ini terjadi pada penderita skizofrenia
berusia 37 tahun yang dirawat di rumah sakit jiwa (Hoaki et al, 2009)
2.
Terapi
Keluarga
Selain terapi obat, psikoterapi keluarga adalah aspek penting
dalam pengobatan. Pada umumnya, tujuan psikoterapi adalah untuk membangun
hubungan kolaborasi antara pasien, keluarga, dan dokter atau psikolog. Melalui
psikoterapi ini, maka pasien dibantu untuk
melakukan sosialisasi dengan lingkunganya. Keluarga dan teman merupakan
pihak yang juga sangat berperan membantu pasien dalam bersosialisasi. Dalam
kasus skizofrenia akut, pasien harus mendapat terapi khusus dari rumah sakit.
Kalau perlu, ia harus tinggal di rumah sakit tersebut untuk beberapa lama
sehingga dokter dapat melakukan kontrol dengan teratur dan memastikan keamanan
penderita.
Tapi sebenarnya, yang paling penting adalah dukungan dari keluarga
penderita, karena jika dukungan ini tidak diperoleh, bukan tidak mungkin para
penderita mengalami halusinasi kembali. Menurut Dadang, sejumlah penderita
skizofrenia juga sering kambuh meski telah menyelesaikan terapi selama enam
bulan. Karena itu, agar halusinasi tidak muncul lagi, maka penderita harus terus
menerus diajak berkomunikasi dengan realitas. Namun, keluarga juga tidak boleh
berlebih-lebihan dalam memperlakukan penderita skizofrenia.
Menurut
dr. LS Chandra, SpKJ, penderita skizofrenia memerlukan perhatian dan empati,
namun keluarga perlu menghindari sikap expressed
emotion (EE) atau reaksi berlebihan seperti sikap terlalu mengkritik,
memanjakan, dan terlalu mengontrol yang justru bisa menyulitkan penyembuhan.
Seluruh
anggota keluarga harus berperan dalam upaya dukungan bagi penderita
skizofrenia. Upaya membentuk self help
group di antara keluarga yang memiliki anggota keluarga skizofrenia adalah
sebuah langkah positif (Arif, 2006).
Kelompok
pembahas menyajikan terapi kelompok sebagai salah satu terapi untuk
skizofrenia. Menurut penulis, pemberian terapi kelompok pada penderita
skizofrenia kurang tepat. Alasan utama adalah terapi kelompok biasa digunakan
pada proses rehabilitasi pecandu narkotika (dalam proses penyembuhan). Konsep
dasar terapi kelompok adalah mediasi masalah dalam kelompok, dinamikan
kelompok, atau outbond (dengan
individu yang mengalami masalah yang sama). Bagaimana mungkin penderita
skizofrenia bisa melakukan hal-hal di atas?
Kelompok
pembahas menyajikan beberapa hal sebagai berikut tentang terapi kelompok:
1.
Memberikan
pendidikan tentang skizofrenia, termasuk simtom dan tanda-tanda kekambuhan.
2.
Memberikan
informasi tentang dan memonitor efek pengobatan dengan antipsikotik.
3.
Menghindari
saling menyalahkan dalam keluarga.
4.
Meningkatkan
komunikasi dan ketrampilan pemecahan masalah dalam keluarga.
5.
Mendorong
pasien dan keluarga untuk mengembangkan kontak sosial mereka, terutama
berkaitan dengan jaringan pendukung.
6.
Meningkatkan
harapan bahwa segala sesuatu membaik, dan pasien mungkin tidak harus kembali ke
rumah sakit.
Poin ke 3, 4, dan 5 sebenarnya adalah bagian dari proses
terapi keluarga. Jadi mungkin masih ada kerancuan pada kelompok pembahas
mengenai konsep dasar terapi kelompok dan terapi keluarga.
3.
Terapi Psikososial
Salah satu efek
buruk skizofrenia adalah dampak negatif pada kemampuan orang untuk berinteraksi
dengan orang lain. Meskipun tidak sedramatis halusinasi dan delusi, masalah ini
dapat menimbulkan konflik dalam hubungan sosial. Para klinisi berusaha
mengajarkan kembali berbagai keterampilan sosial seperti keterampilan percakapan
dasar, asertivitas, dan cara membangun hubungan pada penderita skizofrenia.
Klien juga diberikan terapi okupasi sebagai bagian untuk membantu mereka
melaksanakan tugas sederhana dalam kehidupan sehari-hari (Smith, Bellack, dan
Liberman, 1996; Durand dan Barlow, 2007)
4.
Psikoterapi
Islami
Psikologi Islami, dalam Jurnal Psikologi Islami, juga memberikan
metode terapi untuk mengatasi gangguan kejiwaan berat. Psikoterapi doa
sebenarnya dilakukan oleh klien yang mengalami gangguan kecemasan. Namun dalam
konteks skizofrenia, keluarga harus senantiasa memberikan terapi doa untuk
penderita skizofrenia. Doa diyakini sebagai cara yang ampuh untuk mengalirkan
energi positif dari alam kepada manusia (Urbayatun, 2006).
Perspektif spiritual dalam psikologi
Islami meyakini bahwa ada yang salah dalam qalbu
manusia sehingga ia terkena gangguan psikotik. Terapi psikotik dilakukan
dengan cara menyucikan jiwa individu, baru kemudian jiwa tersebut diisi dengan kebaikan
(oleh terapis).
PREVENSI
Skizofrenia
memiliki basis/dasar biologis, seperti halnya penyakit kanker dan diabetes.
Penyakit ini muncul karena ketidakseimbangan yang terjadi pada dopamine, yakni
salah satu sel kimia dalam otak (neurotransmitter). Otak sendiri terbentuk dari
sel saraf yang disebut neuron dan kimia yang disebut neurotransmitter.
Penelitian terbaru bahkan menunjukkan serotonin, norepinefrin, glutamate, dan
GABA juga berperan dalam menimbulkan gejala-gejala skizofrenia.
Menurut
Durand (2007), prevalensi penderita skizofrenia dari populasi umum adalah 0,2%
sampai 1,5%. Berdasarkan data tersebut, terlihat bahwa setiap individu memiliki
risiko untuk terkena gangguan psikotik ini. Ketidakseimbangan neurotransmitter
dapat dicegah dengan cara tidak selalu mengonsumsi obat-obat psikoaktif.
Pemakaian obat-obatan psikoaktif yang terlalu sering dapat menyebabkan gangguan
halusinasi dan delusi (Durand, 2007).
Secara
psikososial, penderita skizofrenia harus diterima dengan baik oleh pihak
keluarga. Karena penderita skizoferia sebenarnya tidak dapat menerima emosi
yang berlebihan dari orang lain (Durand, 2007).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
intervensi sejak dini merupakan hal yang penting dan bermanfaat dalam
mempengaruhi perjalanan penyakit skizofrenia selanjutnya. Sehingga pengobatan
secara benar dan penyediaan dukungan serta informasi bagi pasien serta keluarga
dapat mencegah kekambuhan di masa yang akan datang (Fausiah & Widury;
makalah pembahas)
Salah satu strategi untuk mencegah
gangguan seperti skizofrenia (yang biasanya tampak pada masa dewasa awal)
adalah dengan mengidentifikasi dan menangani anak-anak yang mungkin beresiko
untuk mengalami gangguan ini di masa dewasanya kelak. (Durand & Barlow,
2007)
Selain itu, faktor-faktor seperti
komplikasi kelahiran dan beberapa penyakit usia dini (misalnya, virus) dapat
memicu onset skizofrenia, terutama di kalangan mereka yang secara genetik telah
terdisposisi. Jadi, intervensi-intervensi seperti vaksinasi berbagai macam
virus untuk perempuan usia subur dan intervensi-intervensi yang berhubungan
dengan perbaikan nutrisi dan perawatan prenatal mungkin merupakan ukuran-ukuran
preventif yang efektif (McGrath, dalam Durand & Barlow, 2006).
Ada tiga bentuk pencegahan primer.
Pertama, pencegahan universal, ditujukan kepada populasi umum agar tidak
terjadi faktor risiko. Caranya adalah mencegah komplikasi kehamilan dan
persalinan. Kedua, pencegahan selektif, ditujukan kepada kelompok yang
mempunyai risiko tinggi dengan cara, orang tua menciptakan keluarga yang
harmonis, hangat, dan stabil. Ketiga, pencegahan terindikasi, yaitu mencegah
mereka yang baru memperlihatkan tanda-tanda fase prodromal tidak menjadi
skizofrenia yang nyata, dengan cara memberikan obat antipsikotik dan suasana
keluarga yang kondusif (makalah pembahas).
I.
KUALITAS
HIDUP PENDERITA
Perspektif
rentang dan kualitas hidup dapat mengungkap sebagian dari perkembangan
penderita skizofrenia. Salah satu di antara beberapa studi adalah penelitian
jangka panjang selama 40 tahun. Temuan umum mereka adalah bahwa orang dewasa
yang lebih tua cenderung memperlihatkan lebih sedikit gejala positif, seperti
delusi dan halusinasi, dan lebih banyak gejala positif, seperti delusi dan
halusinasi dan lebih banyak gejala negatif, seperti kesulitan berbicara dan
kognitif. Pada intinya, kualitas hidup penderita skizofrenia ditentukan oleh
dukungan keluarga dan dukungan sosial yang ia terima (Belitsky dan McGlashan;
Durand, 2007).
Menurut
Durand dan Barlow (2007), penderita skizofrenia tipe paranoia memiliki
prognosis yang lebih baik dibandingkan tipe lainnya. Hal ini disebabkan oleh keterampilan
afeksi dan kognitif penderita yang relative tidak terganggu.
Sementara
itu Kaplan, Sadock, & Grebb; Davison
& Neale (Fausiah & Widur; makalah pembahas) menjelaskan bahwa prognosis
laki-laki lebih buruk dibandingkan wanita. Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa pria lebih mungkin memunculkan simton negatif dibandingkan wanita, dan
wanita tampaknya memiliki fungsi sosial yang lebih baik daripada pria.
CONTOH
KASUS
Film Pan’s Labyrinth
Film
ini menceritakan seorang anak bernama Ofelia yang hidup pada masa perang antara
Jenderal Franco yang diktator dan pengikutnya dengan pasukan pemberontak
gerilya di Spanyol. Ibu Ofelia, Carmen, baru menikah dengan salah seorang
kapten perang bawahan Jenderal Franco bernama Kapten Vidal. Pada masa
mengandung anak Kapten Vidal, Carmen dan Ofelia diminta untuk tinggal di tempat
penggilingan merangkap rumah peristirahatan milik Kapten Vidal. Kapten Vidal
menginginkan anaknya kelak lahir di tempat dia pernah tumbuh. Perjalanan yang
jauh dari kota tempat Ofelia tinggal menuju rumah peristirahatan membuat
kondisi kandungan Carmen menjadi lemah.
Peraturan-peraturan
ketat yang dibuat oleh oleh Kapten Vidal di rumahnya serta dorongan dari ibunya
untuk selalu menuruti apa yang Kapten Vidal perintahkan, membuat Ofelia tidak
nyaman tinggal di rumah tersebut. Ditambah lagi dengan kondisi ibunya yang semakin
melemah dan situasi perang yang berkecamuk, semakin membuat Ofelia merasa
tertekan
Pada
suatu malam Ofelia didatangi oleh Peri yang menuntunnya ke sebuah taman labirin
yang terletak di sekitar rumah peristirahatan tersebut. Di dalam labirin,
Ofelia bertemu dewa tua bernama Faun yang mengatakan bahwa Ofelia adalah
titisan dari Putri Moanna dari Dunia Bawah. Ofelia bisa pulang ke Dunia Bawah
jika berhasil menyelesaikan tiga tugas khusus.
Selama
menjalankan tugas khusus tadi, Ofelia
melanggar beberapa ketentuan dari ibunya. Misalnya pada saat tugas pertama
Ofelia melawan seekor kodok raksasa yang tinggal di bawah sebuah pohon tua.
Tugas ajaib ini membuat gaun –yang akan digunakan untuk makan malam bersama
relasi Kapten Vidal— buatan ibunya kotor berlumuran lumpur.
Pada
saat Ofelia memberitahu Faun tentang kondisi ibunya, Faun memberikan akar
Mandrake yang harus direndam dalam susu segar, diberi darah setiap hari dan
diletakkan di bawah ranjang ibunya. Pada saat Kapten Vidal dan ibunya menemukan
akar Mandrake di bawah ranjang, akar tersebut dibakar di perapian di depan
Ofelia. Pada saat yang sama Carmen merasa akan melahirkan dan mengalami
pendarahan hebat. Hal ini membuat Ofelia semakin yakin mengenai hal-hal gaib
yang ditemuinya. Sayangnya Ofelia gagal menjalankan tugas khusu keduanya
sehingga Faun marah dan mengatakan tidak akan menemui Ofelia lagi. Kondisi
psikis Ofelia semakin diperparah saat ibunya meninggal setelah melahirkan anak
laki-laki Kapten Vidal.
Pada
suatu malam Kapten Vidal dan prajuritnya memergoki Ofelia dan Marcedes (kepala
pelayan di rumah tersebut yang juga peduli pada kondisi Ofelia) pergi membantu
gerilyawan di hutan. Ofelia kemudian ditampar dan dikurung dalam kamarnya serta
tidak diberi makan. Pada saat sendirian di kamarnya, Ofelia didatangi oleh Faun
yang memaafkannya dan memberinya satu tugas akhir, yaitu membawa adik bayinya
ke dalam labirin.
Pada
saat yang sama pasukan gerilya menyerbu rumah peristirahatan. Kapten Vidal
lebih memilih untuk mengejar Ofelia yang membawa adiknya ke dalam labirin. Di
tengah labirin, Faun meminta Ofelia menusukkan pisau ke tubuh adiknya sebagai
persembahan agar pintu Dunia Bawah terbuka, tetapi Ofelia menolaknya. Pada saat
yang sama Kapten Vidal menemukan Ofelia dan menembaknya dari belakang. Ofelia
pun jatuh tersungkur dan akhirnya meninggal.
Pada
saat-saat napas terakhirnya, Ofelia terbangun dan telah berada di Kerajaan
Dunia Bawah disambut oleh ibu dan ayah kandungnya. Tetapi pada perspektif yang
berbeda diperlihatkan Ofelia yang berlumuran darah dan sekarat dipeluk oleh
Marcedes di tengah labirin.
Analisa
yang kami berikan adalah Ofelia memiliki gejala-gejala positif skizofrenia
seperti delusi dan halusinasi. Akibat tekanan yang keras dari ayahnya, ia
mencoba mengalihkan realita kebahagiaan pada dunia peri. Karena itulah, ofelia
tergolong mengalami gangguan skizofrenia tipe paranoid, dimana ia lepas dari
realita dan mengalami delusi serta halusinasi. Ofelia juga mengalami waham
grander, dimana ia meyakini bahwa dirinya adalah putri dunia bawah.
Menurut
DSM-IV-TR (2008), teman khayalan (peri, dsb) adalah bentuk dari disorganized thinking (gangguan
berpikir). Pada tahapan ringan, gangguan berpikir membuat individu tidak mampu
membedakan kondisi nyata dan fantasi. Untuk kasus yang berat, individu bahkan
dapat mengalami ketidakmampuan mengolah kata-kata untuk menjadi sebuah kalimat.
Fitur tersebut menjadi pembeda antara gangguan berpikir dengan delusi.
Penyebab
munculnya teman khayalan bisa sangat bervariasi dan kasuistik, karena terkait
dengan disorganized thinking. Bisa
jadi karena individu memang memiliki faktor risiko yang cukup besar atau karena
teman khayalan menjadi bentuk pelarian individu dari realita.
KESIMPULAN
Skizofrenia adalah
gangguan jiwa serius yang bersifat psikosis sehingga penderita kehilangan
kontak dengan kenyataan dan mempengaruhi berbagai fungsi individu, seperti
afeksi dan kognitif. Penderita Skizofrenia juga dapat digolongkan dalam
beberapa jenis berdasarkan gejala khas yang paling dominan.
Tiap jenis selalu
ditandai dengan gejala positif dan negatif yang berbeda porsinya. Gejala
positif adalah penambahan dari fungsi normal, contohnya halusinasi yaitu
persepsi panca indera yang tidak sesuai kenyataan. Sedangkan gejala negatif
berarti pengurangan dari fungsi normal seperti kehilangan minat dan menarik
diri dari lingkungan sosial.
Hingga saat ini
penyebab utama Skizofrenia masih menjadi perdebatan di kalangan ahli psikiatri
maupun psikologi. Karna itu untuk dapat memahaminya diperlukan multiperspekif
yaitu dari sisi biologis, psikologis, sosial dan spiritual.
DAFTAR
REFERENSI
Jurnal
Clarke, C, Antti Tansken, Matti
Huttunen, John C. Whittaker, and Mary Cannon. 2009. Evidence for an Interaction
Between Familial Liability and Prenatal Exposure to Infection in the Causation
of Schizophrenia. Journal of Psychiatry.
Hoaki, dkk. 2009. Negative Symptoms in Schizophrenia
Respond to Milnacipran Augmentation Therapy: A Case Report. Jurnal of Psychiatry. 12: 32-34.
Lenzenweger, Mark et
al. 2007. Resolving The Latent Structure of Schizophrenia
Endophenotypes Using Expectation-Maximization-Based Finite Mixture Modelling. Journal of Abnormal Psychology, vol.
116, 16-29. American Psychological
Association.
Mesholam-Gately, Raquelle et al. 2009. Neurocognition
in First-Episode Schizophrenia: A Meta Analytic Review. Journal of
Neuropsychology, vol. 23, 315-336.
American Psychological Association.
Urbayatun, Siti. 2006.
Psikoterapi Doa sebagai Alternatif Mengatasi Gangguan Jiwa Ringan. Jurnal Psikologi Islami, vol. 2, 31-37.
Buku
Adz
Zakiey, Hamdani Bakran. 2007. Psikologi
Kenabian. Yogyakarta: Beranda.
Al
Quran dan Terjemahan. 2007. Bandung: Penerbit Diponegoro.
American
Psychiatric Association. 2008. Diagnostic
and Statistical Manual of Mental Disorder 4th Edition Text Revision.
Washington DC: Arlington VA.
Alwisol.
2007. Psikologi Kepribadian. Malang:
UMM Press.
Arif,
Iman Setiadi. 2006. Skizofrenia: Memahami
Dinamika Keluarga Pasien. Bandung: PT. Refika Aditama.
Durand,
V. Mark dan David H. Barlow. 2007. Intisari
Psikologi Abnormal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Show
0 Comments
prev
next